1.
Pengertian
Perikatan adalah hubungan yang terjadi diantara dua orang
atau lebih, yang terletak dalam harta kekayaan, dengan pihak yang satu berhak
atas prestasi dan pihak yang lainnya wajib memenuhi prestasi itu.
Dari rumus diatas kita lihat bahwa unsur- unsur perikatan
ada empat, yaitu :
1. Hubungan hukum ;
2. Kekayaan ;
3. Pihak-pihak, dan
4.
Prestasi.
Menurut
ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan
dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang
satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Di
dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan
system terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber
pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur
dengan undang-undang atau tidak,
inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.
inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.
2.
Dasar Hukum Perikatan
Dasar hokum perikatan
berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
·
Perikatan
yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
·
Perikatan
yang timbul undang-undang. Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi
lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal
ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari
undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari
undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen
toedoen).
·
Perikatan
terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige
daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
3.Azas-azas dalam Hukum
Perikatan
Asas-asas dalam hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH
Perdata, yakni menganut asas kebebasan berkontrak dan asas konsensualisme.
a. Asas kebebasan kontrak
Asas kebebasan berkontrak yaitu bahwa segala sesuatu
perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan demikian, cara ini
dikatakan system terbuka, artinya bahwa dalam membuat perjanjian ini para pihak
diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjiannya dan sebagai undang-undang
bagi mereka sendiri, dengan pembatasan perjanjian yang dibuat tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum, dan norma
kesusilaan.
b Asas konsensualisme
Asas konsesualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada
saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan
tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, asas konsesualisme lazim
disimpulkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan
diri, cakap untuk menbuat suatu perjanjian, mengenai suatu hal tertentu, dan
suatu sebab yang halal.
4.
Wanprestasi dan akibat-akibatnya
Wansprestasi timbul apabila
salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
5.
Hapusnya Perikatan
Bab
IV Buku III KUH Perdata mengatur tentang hapusnya perikatan baik yang timbul
dari persetujuan maupun dari undang-undang yaotu dalam pasal 1381 KUH Perdata.
Dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa ada delapan cara hapusnya perikatan itu
yaitu :
1. Pembayaran
2. Penawaran pembayaran
diikuti dengan penitipan.
3. Pembaharuan utang
(inovatie)
4. Perjumpaan utang
(kompensasi)
5. Percampuran utang.
6. Pembebasan utang.
7. Musnahnya barang yang
terutang
8. Kebatalan dan pembatalan
perikatan-perikatan.
·
Adapun
dua cara lainnya yang tidak diatur dalam Bab IV Buku III KUH Perdata adalah :
1. Syarat yang membatalkan
(diatur dalam Bab I).
2. Kadaluwarsa (diatur dalam
Buku IV, Bab 7).
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar