Jumat, 29 Juni 2012

Dad... i love you



           “Minggir! Jangan halangi aku! Biar aku beri pelajaran anak itu!” papa berteriak sambil mendorong tubuh mama yang berusaha melindungi aku dari hajaran papa.
            “Jangan, Pa!” jerit Mama sambil sekali berusaha melindungi aku. Tapi terlambat, tangan papa sudah melayang ke pipiku diiringi suara ngeri mama. Ada keluh tertahan yang keluar dari mulutku. Tidak hanya pipiku yang merasakan nyeri, tapi juga jauh di relung hatiku.
            Aku terpaku. Tidak percaya kalau orang yang aku saying bersikap seperti itu.kata
            “Mira! Lari! Ke kamar, Nak! Kunci pintu! Cepat!” teriak mama putus asa melihat aku masih berdiri di tempat itu.
            Sadar akan suara mama yang mulai cemas, aku langsung lari dengan cepat ke dalam kamar. Sesampainya di kamar aku langsung mengunci pintu. Namun, belum reda rasa takut dan ngeri di dadaku, suara ketukan pintu membuat aku terlonjak beberapa langkah ke belakang. Aku mendengar dari dalam kamarku suara papa yang berteriak memanggil namaku dan cacian yang menyakitkan hatiku, tapi aku tidak menghiraukannya karena aku sudah lelah.
            Dengan tangan gemetar, kubuka lemari pakaian dan ku ambil buku yang kusisipkan diantara baju-baju. Mataku nanar menatap gambar-gambar sampul yang membuat jantung dan nafasku berdetak kencang.
            “Tidak!” jeritku sambil menjatuhkan buku-buku itu. Air mataku kembali keluar. Tapi itu semua sia-sia. Aku mendongak dengan putus asa. Tetapi pada saat itu mataku melihat lukisan yang tergantung di atas tempat tidurku, Yesus memberkati anak-anak. Tiba-tiba saat aku melihat lukisan tersebut hatiku sangat terharu, aku ingat sewaktu aku kecil papa sering memangkuku seperti itu. Perlahan aku berlutut di sisi tempat tidur.
            “Bapa, sapaku pelan. Engkau begitu sayang kepada anak-anak, sayang jugakah Engkau padaku Bapa? Aku sudah bukan anak-anak lagi. Aku sudah mengecewakan-Mu, Bapa.”
            Sampai disini aku tidak mampu lagi meneruskan perkataanku. Aku tersedu-sedu di tepian tempat tidur, rasanya diriku sangat kotor! “Maafkan aku Bapa,”pintaku dengan suara yang terbata-bata. “Aku tidak bermaksud membaca buku-buku jelek itu. Aku hanya ingin tahu ketika Saskia pertama kali menunjukkannya padaku. Tetapi lama-lama aku tidak dapat melepaskan diri, Bapa!”
Kuusap pipiku yang basah.
            “Saskia juga mengenalkan aku ke Dimas. Katanya, Dimas itu sahabat kakaknya. Pertama aku bertemu dan berkenalan dengan dia aku mulai tertarik dengan Dimas. Dengan berjalannya waktu kami menjadi dekat dan aku mulai suka pada Dimas, dia baik dan sangat perhatian padaku, Bapa. Sering Dimas mengajakku jalan-jalan, tapi dilarang mama. Mama bilang aku masih kecil. Aku bosan dianggap anak kecil Bapa, aku sudah berumur tujuh belas tahun. Karena itu, aku sering membolos les untuk pergi bersama Dimas. Ampuni aku Bapa.”
            Aku berhenti, malu untuk aku lanjutkan perkataanku, tapi hatiku menolak untuk diam. “Aku senang bersama Dimas,”mulutku bergerak lagi. “Ada perasaan lain Bapa yang aku rasakan kalau berada di dekat dia. Tapi tadi siang saat dia main kerumah aku.” Kembali kurasakan gemuruh di dadaku mengingat kejadian tadi siang. Sikap Dimas tadi siang betul-betul keterlaluan dan membuatku muak. Pada waktu mama sedang keluar untuk membayar tagihan listrik dan telepon, Dimas menarikku dan…dan…Ah Bapa, kututup wajahku tidak sanggup membayangkan apa yang terjadi kalau saja Mbok Iyem tidak segera datang dan mengusir Dimas.
            “Aku lelah Bapa, aku betul-betul lelah. Tapi, aku sangat berterima kasih meskipun Mbok Iyem melapor ke Papa sekaligus menyerahkan buku jelek yang Mbok Iyem temukan di lemari pakaianku kepada Papa sehingga Papa marah besar. Seumur hidup Papa belum pernah memakiku, apalagi menyakitiku. Ampuni Papa Bapa, dia tidak bermaksud menyakiti aku. Damaikan kami Bapa, tidak enak rasanya bermusuhan dengan Papa.”
            Sementara berbicara dengan Bapa, kesedihanku sedikit demi sedikit mulai hilang. Karena rasa kantuk yang tidak dapat kutahan lagi, aku masih sempat mengucapkan terima kasih kepada Bapa.
            Hari sudah pagi. Aku membuka mata dan langsung duduk di atas kasurku untuk berdoa pada Bapa di Sorga, aku memohon pada-Nya semoga papa tidak memakiku lagi dan bisa memaafkan kesalahan aku. Setelah selesai mandi dan menyiapkan buku untuk berangkat ke sekolah. Aku langsung ke luar kamar untuk sarapan bersama kedua orang tuaku.
            “Selamat pagi,N” sapa mama dengan suara lembut.
            “Pagi Ma,” jawabku dengan senyuman.
            “Kamu mau Mama ambilkan roti ?” tanya mama padaku.
            “Tidak usah Ma, biar aku ambil sendiri” sambil mengambil roti.
            Selama aku berbicara dengan mama, papa sama sekali tidak menghiraukan aku dan tidak menyapaku seperti biasanya. Sikap papa dingin sekali padaku. Ingin sekali rasanya aku menyapa papa tapi aku takut malah suasana menjadi runyam.
            “Ma, Mira berangkat dulu ya!” pamitku pada mama.
            “Hati-hati ya, Nak! Pulang langsung pulang! Jangan main dulu!” pinta mama.
            “Iya Ma.”
            Selama di perjalanan menuju sekolah, aku memikirkan bagaimana caranya agar Papa bisa memaafkan kesalahanku. Aku Bingung.
            Sesampainya di kelas.
            “Mir kamu kenapa? Kamu tidak seperti biasanya. Kamu ada masalah? tanya Saskia dengan suara cemas. “Aku tidak apa-apa kok Sas,”jawabku.
            Selama kegiatan belajar-mengajar aku tidak memperhatikan guru yang sedang menerangkan di depan kelas. Kata-kata Papa semalam masih terngiang di telingaku dan rasa nyeri di badanku juga masih terasa sakit. Ingin rasanya aku keluar dari rumah, tapi itu semua tidak mungkin aku lakukan karena Mama pasti akan sedih sekali.
            Akhirnya bel sekolah pun berbunyi tanda bahwa kegiatan belajar-mengajar telah usai. Aku langsung bergegas pulang.
            “Syalom! Aku pulang! teriakku dari depan pintu rumah.
            “Syalom! Gimana Mir kegiatan kamu di sekolah hari ini?”tanya Mama
            “Biasa saja Ma,“jawabku berbohong.
            “Yasudah sekarang kamu ganti baju terus makan siang,”pinta mama.
            “Baik Ma,”jawabku dengan senyuman.
            Setelah aku selesai makan siang aku langsung masuk kamar. Ku kunci pintu kamarku rapat-rapat. Aku mengerjakan tugas-tugas sekolah yang sudah mulai menumpuk. Karena terlalu asik mengerjakan tugas-tugas sekolah, sampai-sampai aku  tertidur di meja belajar.
            Aku membuka mata perlahan-lahan. Kulihat jam yang berada di meja belajarku ternyata jam sudah menunjukkan pukul 19.30. Aku langsung merapikan buku-buku yang berada di meja belajar, setelah itu aku langsung cuci muka.
            Tiba-tiba perutku terasa sangat lapar, tapi aku enggan turun, takut papa memarahiku lagi. Sebaliknya, tidak makan juga tidak mungkin karena perutku terus berontak.
            Akhirnya, kuputuskan untuk makan. Jam berdentang delapan kali. Jam segitu biasanya papa sudah sibuk di kamar kerjanya. Dengan mengendap-endap aku keluar dari kamarku dan menuju ruang tengah.
            Heran, sepi sekali rumah ini. Perhatianku beralih ke meja makan. Masih ada satu piring tersisa, tentu itu bagianku. Tercium bau sup macaroni saat kuangkat tutup panci. Perutku tambah lapar. Aku duduk dan mulai menyendok nasi.
            Bunyi langkah kaki membuatku menoleh cepat. Mataku dan mata papa bertemu. Kami sama-sama tertegun, kemudian papa berbalik.
            “Pa!” aku terkejut mendengar suaraku sendiri. Papa menahan langkahnya, tapi tetap membelakangi aku. Aku belum pernah secanggung ini menghadapi papa. Jarak di antara kami rasanya menjadi jauh sekali.
            “Ada apa? kata papa datar.”
            Aku menelan ludah. “Mira minta maaf Pa. Mira salah.”
            “Sudah?” komentar papa dingin.
            “Mira tahu papa kecewa,” ujarku gemetar. Tapi apakah tidak ada maaf lagi Pa? kalau papa belum puas, pukul Mira lagi saja, Pa! Pukul! Tapi jangan musuhi Mira, Mira tidak sanggup, Mira sangat sayang sama papa.
            Aku tidak sanggup menahan air mataku. Dadaku kian sesak menatap sosok tegar di hadapanku. Saat aku siap berlari untuk masuk ke kamarku. Papa berbalik.
            “Mira,” pangil papa.”
            Saat itu aku melihat sepasang mata yang sangat kusayangi berkilau menahan air mata.
            “Papa! langsung ku dekap papa dengan rasa sayang. Aku memeluknya lebih erat, tidak mau melepasnya lagi. Terasa tangan papa mengusap-usap rambutku.
            “Masih sakit?” tanya papa
            “Dikit, tapi sudah agak mendingan kok,Pa.
            “Maafin papa, Mira. Papa terpaksa kemarin memukul kamu. Itu karena papa sayang kamu! Papa tidak bisa melihat anak kesayangan papa melakukan hal-hal yang tidak sopan, kata papa tegas tapi nada suaranya kini melemah. “Papa tidak mau kamu jatuh ke dalam pergaulan bebas, Mira. Papa minta Mira jangan berbuat seperti itu lagi ya! kata Papa. Kali ini dengan nada bujukan.
            “Ia, Pa” jawabku dengan suara meyakinkan. “Makasih ya, Pa. Mira sayang sama papa!” kataku dengan suara senang.
            Sebelum aku masuk ke kamar diciumnyalah keningku dengan hangat oleh  papa.
            Sebelum aku tidur aku berdoa kepada Bapa di Sorga. “Bapa terima kasih karena aku telah berdamai dengan papa. Aku tidak akan mengecewakan papa. Aku sayang papa dan mama, Bapa,”