Sebenarnya,
apakah yang dimaksud dengan “inefisiensi”?. Inefisiensi adalah kebalikan dari
kata efisiensi. Secara garis besar, efisiensi itu sendiri bisa diartikan
pemaksimalan serta pemanfaatan seluruh sumber daya dalam proses produksi barang
dan jasa. Efisien menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun W.J.S.
Poerwadarminta memiliki arti cermat, tidak membuang-buang energi dan waktu,
paling sesuai dan tepat untuk suatu tujuan. Penekanannya ada pada tidak membuang-buang
energi dan waktu serta tepat tujuan. Sementara inefisiensi sendiri memiliki
arti sebaliknya. Aktifitas yang terjadi justru hal-hal yang berkonotasi
pemborosan dan tidak tepat sasaran.
Ada tujuh jenis inefisiensi yang sering
dijumpai pada proses bisnis suatu perusahaan, yaitu sebagai berikut:
1. Over-Produksi
2. Pergerakan
3. Menunggu
4. Transportasi
5. Proses Ekstra
6. Inventaris (Inventory)
7. Rusak atau Cacat
1. Over-Produksi
2. Pergerakan
3. Menunggu
4. Transportasi
5. Proses Ekstra
6. Inventaris (Inventory)
7. Rusak atau Cacat
Berikut
adalah salah satu contoh inefisiensi dalam ekonomi
Sebagaimana
diketahui, BPK menemukan inefisiensi di tubuh PLN sebesar Rp 37,6 triliun
sepanjang 2009-2010. Dalam hasil auditnya, BPK menyatakan inefisiensi terjadi
karena tidak tersedianya bahan bakar primer untuk menyalakan pembangkit
listrik. Selain itu, inefisiensi disulut berbagai sebab. Di antaranya, BPK
menemukan perusahaan listrik pelat merah, PLN, mengoperasikan dan memelihara
beberapa pembangkit tidak sesuai dengan ketentuan teknis dan prinsip efisiensi.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu Sektor
Hulu Listrik pada PT Perusahaan Listrik Negara, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, BPK
menemukan penggunaan bahan bakar high speed diesel atau kerap disebut solar
pada pembangkit yang berbasis dual firing -bisa menggunakan gas dan BBM,
mengakibatkan biaya pemeliharaan pembangkit lebih tinggi dibandingkan dengan
bahan bakar gas. Itu mengakibatkan PLN mengeluarkan biaya pemeliharaan relatif
lebih mahal yaitu Rp 104,6 miliar pada 2009 dan sebesar Rp 63,6 miliar pada
2010. Padahal bila menggunakan gas, biaya pemeliharaan pembangkit jauh lebih
rendah. Selain itu, ditemukan pula bahwa Pembangkit di Sumatera Bagian Selatan
dan Sumatera Bagian Utara harus membayar gas yang belum dipakai sehingga
berpotensi merugikan PLN. Biaya yang sudah dikeluarkan senilai US$40,6 juta
untuk pembelian gas PLN Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan dan Sumatera
Bagian Utara, yang belum dapat segera dimanfaatkan. PLTG Sektor Belawan Unit
2.1 dan Unit 2.2 di PLN Pembangkitan Sumatera Bagian Utara mengalami kerusakan
karena mengkonsumsi gas yang tidak sesuai spesifikasi. PLTGU Belawan kehilangan
kesempatan memproduksi listrik sebesar 5.640.000 kWh senilai Rp 68 miliar dan
harus mengeluarkan biaya perbaikan di luar pemeliharaan periodik sebesar Rp 4,3
miliar. BPK menilai Proses pengadaaan dan pengoperasian mesin sewa diesel PLN
Wilayah NTB mengalami keterlambatan dan tidak dilakukan addendum pengurangan
harga. PLN Wilayah NTB berpotensi membayar harga kontrak yang lebih tinggi
sebesar Rp 27,7 miliar pada kontrak PLTD sewa Paokmotong, Labuhan, dan Bima.
Dari contoh diatas dapat dikatakan bahwa terjadi
over-produksi (menghasilkan sesuatu secara berlebihan) karena PLN harus mengeluarkan biaya pemeliharaan yang relatif
lebih mahal dari biasanya. Seharusmya PLN bisa menggunakan Sumber Daya Alam gas
karena akan mengakibatkan biaya pemeliharaan pembangkit lebih murah.
sumber : tribunnews.com
nice blog, cantix,
BalasHapuskunjungi juga ya :)
http://caramenurunkanberatbadandanhidupsehat.blogspot.com
wah,, sngat membeikan pencerahan tulisannya n baru tau ternya pln terjadi inefisiensi di tahun tsb.. fak.ekonomi angkatan brapa? thanks before. :D
BalasHapus