“Minggir!
Jangan halangi aku! Biar aku beri pelajaran anak itu!” papa berteriak sambil
mendorong tubuh mama yang berusaha melindungi aku dari hajaran papa.
“Jangan , Pa !”
jerit Mama sambil sekali berusaha melindungi aku. Tapi terlambat, tangan papa
sudah melayang ke pipiku diiringi suara ngeri
mama. Ada keluh
tertahan yang keluar dari mulutku. Tidak hanya pipiku yang merasakan nyeri,
tapi juga jauh di relung hatiku.
Aku
terpaku. Tidak percaya kalau orang yang aku saying bersikap seperti itu.kata
“Mira!
Lari! Ke kamar, Nak! Kunci pintu! Cepat!” teriak mama putus asa melihat aku
masih berdiri di tempat itu.
Sadar
akan suara mama yang mulai cemas, aku langsung lari dengan cepat ke dalam
kamar. Sesampainya di kamar aku langsung mengunci pintu. Namun, belum reda rasa
takut dan ngeri di dadaku, suara
ketukan pintu membuat aku terlonjak beberapa langkah ke belakang. Aku mendengar
dari dalam kamarku suara papa yang berteriak memanggil namaku dan cacian yang
menyakitkan hatiku, tapi aku tidak menghiraukannya karena aku sudah lelah.
Dengan tangan gemetar, kubuka lemari
pakaian dan ku ambil buku yang kusisipkan diantara baju-baju. Mataku nanar
menatap gambar-gambar sampul yang membuat jantung dan nafasku berdetak kencang.
“Tidak!”
jeritku sambil menjatuhkan buku-buku itu. Air mataku kembali keluar. Tapi itu
semua sia-sia. Aku mendongak dengan putus asa. Tetapi pada saat itu mataku
melihat lukisan yang tergantung di atas tempat tidurku, Yesus memberkati
anak-anak. Tiba-tiba saat aku melihat lukisan tersebut hatiku sangat terharu,
aku ingat sewaktu aku kecil papa sering memangkuku seperti itu. Perlahan aku
berlutut di sisi tempat tidur.
“Bapa,
sapaku pelan. Engkau begitu sayang kepada anak-anak, sayang jugakah Engkau
padaku Bapa? Aku sudah bukan anak-anak lagi. Aku sudah mengecewakan-Mu, Bapa.”
Sampai
disini aku tidak mampu lagi meneruskan perkataanku. Aku tersedu-sedu di tepian
tempat tidur, rasanya diriku sangat kotor! “Maafkan aku Bapa,”pintaku dengan
suara yang terbata-bata. “Aku tidak bermaksud membaca buku-buku jelek itu. Aku
hanya ingin tahu ketika Saskia pertama kali menunjukkannya padaku. Tetapi
lama-lama aku tidak dapat melepaskan diri, Bapa!”
Kuusap pipiku yang basah.
“Saskia
juga mengenalkan aku ke Dimas. Katanya, Dimas itu sahabat kakaknya. Pertama aku
bertemu dan berkenalan dengan dia aku mulai tertarik dengan Dimas. Dengan
berjalannya waktu kami menjadi dekat dan aku mulai suka pada Dimas, dia baik
dan sangat perhatian padaku, Bapa. Sering Dimas mengajakku jalan-jalan, tapi
dilarang mama. Mama bilang aku masih kecil. Aku bosan dianggap anak kecil Bapa,
aku sudah berumur tujuh belas tahun. Karena itu, aku sering membolos les untuk
pergi bersama Dimas. Ampuni aku Bapa.”
Aku
berhenti, malu untuk aku lanjutkan perkataanku, tapi hatiku menolak untuk diam.
“Aku senang bersama Dimas,”mulutku bergerak lagi. “Ada perasaan lain Bapa yang aku rasakan kalau
berada di dekat dia. Tapi tadi siang saat dia main kerumah aku.” Kembali
kurasakan gemuruh di dadaku mengingat kejadian tadi siang. Sikap Dimas tadi
siang betul-betul keterlaluan dan membuatku muak. Pada waktu mama sedang keluar
untuk membayar tagihan listrik dan telepon, Dimas menarikku dan…dan…Ah Bapa,
kututup wajahku tidak sanggup membayangkan apa yang terjadi kalau saja Mbok
Iyem tidak segera datang dan mengusir Dimas.
“Aku
lelah Bapa, aku betul-betul lelah. Tapi, aku sangat berterima kasih meskipun
Mbok Iyem melapor ke Papa sekaligus menyerahkan buku jelek yang Mbok Iyem temukan
di lemari pakaianku kepada Papa sehingga Papa marah besar. Seumur hidup Papa
belum pernah memakiku, apalagi menyakitiku. Ampuni Papa Bapa, dia tidak
bermaksud menyakiti aku. Damaikan kami Bapa, tidak enak rasanya bermusuhan
dengan Papa.”
Sementara
berbicara dengan Bapa, kesedihanku sedikit demi sedikit mulai hilang. Karena
rasa kantuk yang tidak dapat kutahan lagi, aku masih sempat mengucapkan terima
kasih kepada Bapa.
Hari
sudah pagi. Aku membuka mata dan langsung duduk di atas kasurku untuk berdoa
pada Bapa di Sorga, aku memohon pada-Nya semoga papa tidak memakiku lagi dan
bisa memaafkan kesalahan aku. Setelah selesai mandi dan menyiapkan buku untuk berangkat
ke sekolah. Aku langsung ke luar kamar untuk sarapan bersama kedua orang tuaku.
“Selamat
pagi,N” sapa mama dengan suara lembut.
“Pagi
Ma,” jawabku dengan senyuman.
“Kamu
mau Mama ambilkan roti ?” tanya mama padaku.
“Tidak
usah Ma, biar aku ambil sendiri” sambil mengambil roti.
Selama
aku berbicara dengan mama, papa sama sekali tidak menghiraukan aku dan tidak
menyapaku seperti biasanya. Sikap papa dingin sekali padaku. Ingin sekali
rasanya aku menyapa papa tapi aku takut malah suasana menjadi runyam.
“Ma,
Mira berangkat dulu ya!” pamitku pada mama.
“Hati-hati
ya, Nak! Pulang langsung pulang! Jangan main dulu!” pinta mama.
“Iya
Ma.”
Selama
di perjalanan menuju sekolah, aku memikirkan bagaimana caranya agar Papa bisa
memaafkan kesalahanku. Aku Bingung.
Sesampainya
di kelas.
“Mir
kamu kenapa? Kamu tidak seperti biasanya. Kamu ada masalah? tanya Saskia dengan
suara cemas. “Aku tidak apa-apa kok Sas,”jawabku.
Selama
kegiatan belajar-mengajar aku tidak memperhatikan guru yang sedang menerangkan di
depan kelas. Kata-kata Papa semalam masih terngiang di telingaku dan rasa nyeri
di badanku juga masih terasa sakit. Ingin rasanya aku keluar dari rumah, tapi
itu semua tidak mungkin aku lakukan karena Mama pasti akan sedih sekali.
Akhirnya
bel sekolah pun berbunyi tanda bahwa kegiatan belajar-mengajar telah usai. Aku
langsung bergegas pulang.
“Syalom!
Aku pulang! teriakku dari depan pintu rumah.
“Syalom!
Gimana Mir kegiatan kamu di sekolah hari ini?”tanya Mama
“Biasa
saja Ma,“jawabku berbohong.
“Yasudah
sekarang kamu ganti baju terus makan siang,”pinta mama.
“Baik
Ma,”jawabku dengan senyuman.
Setelah
aku selesai makan siang aku langsung masuk kamar. Ku kunci pintu kamarku
rapat-rapat. Aku mengerjakan tugas-tugas sekolah yang sudah mulai menumpuk.
Karena terlalu asik mengerjakan tugas-tugas sekolah, sampai-sampai aku tertidur di meja belajar.
Aku
membuka mata perlahan-lahan. Kulihat jam yang berada di meja belajarku ternyata
jam sudah menunjukkan pukul 19.30. Aku langsung merapikan buku-buku yang berada
di meja belajar, setelah itu aku langsung cuci muka.
Tiba-tiba
perutku terasa sangat lapar, tapi aku enggan turun, takut papa memarahiku lagi.
Sebaliknya, tidak makan juga tidak mungkin karena perutku terus berontak.
Akhirnya,
kuputuskan untuk makan. Jam berdentang delapan kali. Jam segitu biasanya papa
sudah sibuk di kamar kerjanya. Dengan mengendap-endap aku keluar dari kamarku
dan menuju ruang tengah.
Heran,
sepi sekali rumah ini. Perhatianku beralih ke meja makan. Masih ada satu piring
tersisa, tentu itu bagianku. Tercium bau sup macaroni saat kuangkat tutup
panci. Perutku tambah lapar. Aku duduk dan mulai menyendok nasi.
Bunyi
langkah kaki membuatku menoleh cepat. Mataku dan mata papa bertemu. Kami
sama-sama tertegun, kemudian papa berbalik.
“Pa!”
aku terkejut mendengar suaraku sendiri. Papa menahan langkahnya, tapi tetap
membelakangi aku. Aku belum pernah secanggung ini menghadapi papa. Jarak di
antara kami rasanya menjadi jauh sekali.
“Ada apa? kata papa datar.”
Aku
menelan ludah. “Mira minta maaf Pa. Mira salah.”
“Sudah?”
komentar papa dingin.
“Mira
tahu papa kecewa,” ujarku gemetar. Tapi apakah tidak ada maaf lagi Pa? kalau papa
belum puas, pukul Mira lagi saja, Pa! Pukul! Tapi jangan musuhi Mira, Mira
tidak sanggup, Mira sangat sayang sama papa.
Aku
tidak sanggup menahan air mataku. Dadaku kian sesak menatap sosok tegar di
hadapanku. Saat aku siap berlari untuk masuk ke kamarku. Papa berbalik.
“Mira,”
pangil papa.”
Saat
itu aku melihat sepasang mata yang sangat kusayangi berkilau menahan air mata.
“Papa!
langsung ku dekap papa dengan rasa sayang. Aku memeluknya lebih erat, tidak mau
melepasnya lagi. Terasa tangan papa mengusap-usap rambutku.
“Masih
sakit?” tanya papa
“Dikit,
tapi sudah agak mendingan kok,Pa. ”
“Maafin
papa, Mira. Papa terpaksa kemarin memukul kamu. Itu karena papa sayang kamu!
Papa tidak bisa melihat anak kesayangan papa melakukan hal-hal yang tidak
sopan, kata papa tegas tapi nada suaranya kini melemah. “Papa tidak mau kamu
jatuh ke dalam pergaulan bebas, Mira. Papa minta Mira jangan berbuat seperti
itu lagi ya! kata Papa. Kali ini dengan nada bujukan.
“Ia,
Pa” jawabku dengan suara meyakinkan. “Makasih ya, Pa. Mira sayang sama papa!”
kataku dengan suara senang.
Sebelum
aku masuk ke kamar diciumnyalah keningku dengan hangat oleh papa.
Sebelum
aku tidur aku berdoa kepada Bapa di Sorga. “Bapa terima kasih karena aku telah
berdamai dengan papa. Aku tidak akan mengecewakan papa. Aku sayang papa dan mama,
Bapa,”